Drama permainan mobile Flappy Bird menghiasi headline
situs-situs informasi teknologi seminggu terakhir. Flappy Bird berhasil
menduduki posisi puncak daftar aplikasi terpopuler di lebih dari 100
negara, baik untuk App Store maupun Google Play Store, dan memperoleh
pendapatan $50 ribu per hari dari iklan. Antiklimaksnya, pengembang
independen Dong Nguyen (dengan label .GEARS) memutuskan untuk menarik
permainannya ini dari dua toko aplikasi hari Minggu kemarin.
Terlepas dari pertimbangan pribadi Nguyen tentang ketidaknyamanannya
menghadapi popularitas instan seperti ini, kami berbincang dengan CEO
Touchten Anton Soeharyo, CEO Agate Studio Arief Widhiyasa, Founder
Kartunama Agus Mulyono, dan Co-founder Barito Labs Satya Witoelar
tentang fenomena Flappy Bird dan hal apa yang bisa menjadi pelajaran
bagi para pelaku industri digital, khusus industri permainan mobile, di
Indonesia.
Anton membuka perbincangan dengan mengatakan bahwa Nguyen sudah
seperti penyelamat dan pahlawan bagi para pengembang independen. Dia
mengatakan bahwa di dunia permainan mobile, yang saat ini penuh dengan
kredo Cost Per Install (CPI) dan In-App Purchase (IAP) yang membuat
pengembang-pengembang independen semakin terdesak, Nguyen berhasil
memberikan harapan bahwa menjadi sukses (sebagai pengembang independen)
masih bisa dilakukan.
Menurut Anton, ada sejumlah pelajaran yang bisa diambil terkait
fenomena ini. Pertama, kita tidak akan pernah tahu apa yang pasar
(konsumen) inginkan. Kedua, app store (mungkin) masih bersahabat dengan
pengembang-pengembang independen. Ketiga, kecemburuan menghancurkan
industri. Dia mengelaborasi banyak pihak yang merasa tidak senang dengan
kesuksesan ini dan ketimbang memberikan dukungan malah
menjelek-jelekkan, menuduh menjiplak atau melakukan kecurangan.
Arief menambahkan bahwa pelajaran yang dipetik bahwa
viral marketing (melalui
mulut ke mulut) masih menjadi cara paling efektif untuk mempromosikan
suatu produk. Meskipun demikian, Arief mengambil sisi yang berbeda
dengan menganggap kesuksesan Flappy Bird adalah suatu keberuntungan dan
seharusnya tidak perlu dipertimbangkan sebagai cerita sukses yang perlu
dianalisis.
Baik Anton maupun Agus menyesalkan cara Nguyen mengakhiri cerita
Flappy Bird dengan menurunkannya dari daftar aplikasi. Menurut Anton,
sebaiknya Nguyen (dan pengembang secara umum) tidak perlu terlalu
menghiraukan jika media, atau bahkan teman sekalipun, menulis hal
negatif tentang dia.
Agus melangkah lebih jauh dan berpendapat seharusnya Nguyen memiliki
exit strategy,
baik produk yang dihasilkannya sukses ataupun tidak. Ketika produknya
ternyata sukses besar, Nguyen kelabakan dengan terlalu besarnya
“perhatian” yang diberikan. Konsumen justru kaget ketika justru
aftermath-nya malah menjadi penutupan akses Flappy Bird untuk pengunduhan baru.
Satya, yang pernah terlibat kisah sukses penjualan Koprol ke Yahoo,
mengamini bahwa volume pengunduhan Flappy Bird yang besar mengundang
banyak
haters atau testimonial tentang sulitnya memainkan
permainan ini. Nguyen mengalami kesulitan mengacuhkan hal-hal ini,
padahal “hal negatif” merupakan bukti kesuksesan di suatu industri.
Sebagai penutup, Arief mengambil peribahasa tentang “semakin di atas,
angin semakin kencang”. Kita harus memiliki “pegangan yang kuat” supaya
tidak mudah tertiup angin. Anton menyarankan sebaiknya Nguyen memiliki
co-founder(s) supaya segala permasalahan bisa dibagi bersama dan tidak menjadi beban pribadi.
SUMBER